Selasa, 20 November 2018

Keras Hati

Hai! Apa kabar hari ini? Sudahkah berdamai dengan diri sendiri? Perihal apapun itu, kamu harus berdamai dengan dirimu. 
Hatiku terlalu keras untuk berdamai. Memang, aku adalah pemberontak. Ingin segera keluar dari zona yang tak kusukai. Sombong. Selalu ingin menantang hal-hal baru. Begitulah caraku hidup. Sebagai manusia, kita dilahirkan untuk tidak pernah puas, tapi jangan lupa pula untuk selalu bersyukur.
Heran. Kenapa aku selalu merasa kesepian di tengah keramaian? Selalu merasa rindu akan hal-hal yang terjadi dahulu? Selalu bersikeras bahwa segalanya bisa seindah dulu? Aku memang bukan satu-satunya orang yang mengalami patah hati. Bukan pula satu-satunya orang yang ditinggal pergi oleh pujaan hati. Ahh, ini memang salahku yang terlalu menaruh harap padamu. Memang salahku yang tiba-tiba muncul di kehidupanmu. Memang salahku yang terlalu memprioritaskan dirimu. Memang salahku yang terlalu memikirkanmu. Sekarang, aku menjadi keras hati, sulit berdamai dengan diri sendiri. Masih bersikeras bahwa kau akan kembali padaku. Masih bersikeras untuk menyimpan segala perasaan padamu. Masih bersikeras kenangan indah akan terulang seperti dahulu. Tidak, aku tidak pernah menyalahkanmu. Aku pun tidak akan lagi menyalahkan diriku.
Mungkin saat itu kamu memang diutus supaya aku bisa mempelajari sesuatu darimu, dari kehadiranmu. Dan memang, aku banyak belajar darimu. Kesederhanaan, pengorbanan, menghargai, kehangatan, berpikir dari sudut pandang lain, memaafkan, dan melangkah lagi. Tidak ku pungkiri, sampai saat ini aku belum menemukan orang sepertimu. Entah mengapa, aku hanya nyaman bercerita dan bertukar pikiran denganmu. Tapi rasanya, kamu memang sudah tidak ingin mendengarkan dan bertukar pikiran bersamaku lagi. Tidak, aku tidak pernah membencimu. Aku selalu senang melihatmu bahagia dan berkembang dari kejauhan. Hanya buku itu yang bisa kuberikan padamu, bahkan mungkin sekarang buku itu pun sudah kau asingkan. Tidak apa. Mungkin kau merasa aneh, kenapa aku belum bisa melupakanmu. Dan mungkin juga kau merasa risih karena aku menulis tentangmu. Maaf. Sudah, jangan hiraukan keberadaanku. Ini hanya masalah aku dan hatiku yang masih belum bisa berdamai. Lanjutkan saja kembali hidupmu. Biar aku di sini sebagai pengamatmu, sebagai cerita lama mu.
Kini aku paham, jika sesuatu tidak terjadi sesuai dengan ekspektasi, jangan menyalahkan diri sendiri. Jangan menyalahkan orang lain, dan jangan menyalahkan keadaan. Kita hanya sedang diuji perihal bagaimana berdamai dengan diri sendiri, orang lain, dan juga keadaan. Seperti apa ke depannya nanti, itu hasil dari apa yang telah kita usahakan. Berdamailah. Tersenyum. Kembali melangkah.

Sabtu, 10 November 2018

Kembali

Kata apa yang tepat untuk memulai sesuatu kembali? Mungkin "Hai" atau "Halo" atau mungkin "Oy!", ahh entahlah aku bukan orang yang terlalu suka basa-basi walaupun terkadang masih melakukannya.
Sudah tahun 2018, tepatnya hari ini aku memutuskan untuk kembali menulis. Coba cek postinganku sebelumnya di blog ini, maka kamu akan tahu kapan aku terakhir memposting tulisan di sini. Tidak, aku tidak bosan sehingga aku berhenti menulis. Dan aku sebenarnya tidak berhenti menulis, aku hanya tidak mempostingnya di blog ini. Aku hanya menulis di buku jurnal milikku, buku jurnal yang ku khususkan untuk orang lain dan menulis di laptopku, itu saja. 
Beberapa bulan belakangan ini aku seperti mendapat tamparan keras di kehidupan, yaa anggap saja ujian menuju kedewasaan. Saat aku merasakan ada yang tidak beres dengan diriku, aku lebih suka meluapkannya dengan menulis dibandingkan bercerita melalui lisan. Aneh memang, tidak sesuai dengan diriku yang dikenal orang-orang 'suka nyerocos' karena tingkah konyolku. Bagi orang-orang yang paham denganku pasti mereka merasakan sisi lain dari sifatku, ahh perihal itu nanti akan kuceritakan lewat tulisanku. 
Tulisan. Menulis. Penulis. Kata-kata itu tidak asing bagiku. Aku yang saat itu duduk di Sekolah Dasar sangat senang ketika diberi tugas mengarang oleh guruku. Aku yang sejak kecil suka bercerita di depan orang-orang yang ku kenal, bahkan teman kakakku sampai sekarang masih memanggilku "Kurcaci Biru" karena dahulu aku berulang kali bercerita kepadanya tentang kisah itu, aku pun sudah lupa bagaimana kisahnya. Seiring waktu diriku tumbuh dan berkembang, semakin aku tergila-gila pada buku, aku lebih memilih belanja buku daripada yang lainnya. Kala itu aku selalu bilang ke orang tuaku, "Aku lebih suka ditinggal di toko buku berjam-jam daripada harus muter-muter mall begini, gak betah", kalimat itu selalu ku lontarkann saat keluargaku mengajak belanja di mall, dan aku selalu merasa kesal, tapi itulah bentuk pemberontakan masa kecilku.
Pada tahun saat aku duduk di Sekolah Menengah Pertama, aku ingin sekali menjadi penulis, menghasilkan sebuah karya melalui tulisan adalah salah satu impian besarku. Tapi ternyata menulis bukan perkara mudah, apalagi saat itu aku adalah remaja yang emosinya masih teramat labil. Hari ini aku berpikir untuk menulis A, tapi saat mulai menulis tidak pernah aku selesaikan tulisan itu dengan dalih bosan. Sekarang aku sadar mengapa dulu aku tak pernah menyelesaikan tulisanku. Membatasi. Ya, aku terlalu membatasi imajinasiku, aku hanya menulis di jalur yang sama setiap saat, aku kala itu belum berani mencoba hal baru, belum berani keluar dari zona nyamanku. Tetapi, aku tetap menulis dan merasa senang jika tulisanku dibaca oleh teman-temanku. Saat duduk di Sekolah Menengah Atas, aku mulai mencoba membuat cerita pendek dan mengirimkannya ke sebuah website berita online, dan itulah honor pertamaku dari menulis. Bukan honor yang besar, tapi itu sangat membuatku senang bukan kepalang, ada rasa bangga saat namaku tercantum sebagai penulis di sana, mention ucapan selamat dari teman-teman di media sosialku pun berdatangan, ahh bahagia yang sederhana tapi agak berlebihan menurut diriku yang sekarang. Saat menulis ini aku iseng mencari di mesin pencarian apakah tulisanku masih ada atau tidak di laman web itu. Aku tersenyum tipis, ternyata masih ada.
Sekarang, aku menulis bukan karena aku ingin jadi penulis. Impianku itu sudah tidak terlalu aku impikan lagi. Aku menulis hanya karena ingin berbagi. Aku menulis hanya karena ingin meluapkan apa yang aku rasakan, karena jujur saja aku lebih senang menyampaikan sesuatu lewat tulisan, lebih terasa dan bisa dibaca berulang-ulang. Setelah tulisan ini, aku mencoba agar lebih rajin untuk memposting tulisan-tulisan lainnya di blog. Kalau kau tak suka, silakan beri kritik padaku karena aku suka kritik yang membangun. Selamat berselancar di blog ku ini wahai para pemain imajinasi. Mulai sekarang aku adalah temanmu.
Oh iya, satu lagi. Selamat memperingati hari pahlawan. Ingat, kamu hidup sekarang ini tidak terlepas dari perihnya para pejuang terdahulu. Sudahkah kamu jadi pahlawan? Yaa setidaknya belajarlah dulu berdamai dengan dirimu sendiri.

Senin, 13 Juni 2016

Surat Terakhir



 “Berdiri kalian semua di lapangan! Jangan ada yang duduk sampai ada perintah dari saya!” Dengan semangat Faris meniru suara dan gaya gurunya yang marah karena kelakuan teman-teman sekelasnya.
Ahmad Faris, dia adalah adikku yang masih duduk di kelas 2 SMP. Seorang ketua kelas dan juga pemain sepak bola terbaik di sekolahnya. Tidak begitu menonjol di bidang akademik tetapi jago bermain musik.
“Gitu kak, pokoknya Pak Burhan tadi galak banget deh. Padahal kan yang buat masalah rombongannya si itu tuh, Haris. Emang dasar biang kerok mereka itu. Jadinya kita semua deh yang dihukum.” Faris terus menggerutu.
“Ya kamu sebagai ketua kelas harusnya tegur mereka dong supaya gak bandel lagi.” Aku mengacak-acak rambut adikku karena gemas.
“Sudah lho kak, aku capek ngasih tau mereka terus. Kuping mereka itu udah ada tamengnya kali ya, jadi perkataanku gak masuk ke mereka. Masa tiap hari kita harus berdiri di lapangan terus sih gara-gara ulah mereka? Kan panaass, belum lagi kaki pegal tau kakk.” Faris meminum segelas susu yang baru saja diberikan oleh Bi Tati.
“Nak, kamu baru dijemur di lapangan aja ngeluhnya luar biasa. Kamu tau pelajar zaman ayah tuh udah biasa dapet hukuman yang lebih dari itu.” Ayahku yang sedari tadi membaca koran ikut masuk dalam obrolan kami.
“Emangnya pelajar zaman dulu nakal-nakal ya yah? Kok dihukum terus?” Faris bertanya dengan antusias.
“Yaaah bukan nakal, tapi kami sejak kecil diajarkan disiplin dan hormat kepada orang yang lebih tua. Kalian enak sekarang sekolah diantar pake mobil, dulu zaman ayah harus jalan kaki, paling mewah yaah naik sepeda. Alas kaki pun gak sebagus punya kalian sekarang. Syukur-syukur dulu bisa punya sepatu, kalau gak punya ya nyeker.” Pandangan ayah menerawang seakan-akan kembali ke masa kecilnya.
“Dan nyatanya dengan didikan seperti itu gak buat ayah jadi bodoh kan? Tapi keadaan sekarang sudah beda. Guru melakukan hukuman kontak fisik yang sebenarnya masih wajar, eh ujungnya berakhir di penjara. Hhhhh.” Ayah menambahkan sembari menghela napas panjang.
“Fariiissss! Kenapa ulangan harian matematika kamu Cuma dapet nilai 50? Nilai segini artinya belum lulus!” Bunda muncul dari kamar Faris dengan membawa lembaran kertas.
“Nadhya, ajarin dong adik kamu ini supaya dia pintar dan nilainya gak jeblok terus!” Bunda berkata kepadaku sembari menyerahkan hasil ulangan harian Faris ke ayah.
“Faris, sekarang kerjakan PR mu ya. Nadhya, bantu adikmu.” Aku dan Faris menuruti ayah, kami segera masuk ke kamar.
“Bun,  maksa anak untuk ngelakuin sesuatu yang gak dia suka itu gak baik lho. Kalau bunda marahin Faris terus karena nilainya jeblok, yang ada dia malah takut dan belajarnya jadi gak serius.” Ayah menasehati bunda.
“Lah terus harus apa dong?” Bunda bingung.
“Gak semua mata pelajaran Faris jeblok kan? Anak gabisa dipaksa untuk suka sama semua pelajaran, kita harus pakai cara yang bisa ngasih dia motivasi, jangan paksa dia buat dapet nilai sempurna, pelan-pelan aja dan kasih dia pengertian baik-baik. Ayah yakin bunda bisa. Ayah tidur dulu ya.” Setelah selesai bicara, ayah beranjak ke kamarnya meninggalkan bunda yang masih berpikir.
*****
Lampung. Satu bulan kemudian.
“Kak Nadhyaaa! Selamat ya kakak lulus SMA, nilai tertinggi di sekolah lagi. Cie mau kuliah ciee.” Faris yang baru pulang sekolah langsung memelukku.
“Haha biasa aja kali, Ris. Kakak juga gak nyangka bisa dapet nilai UN tertinggi. Kamu yang rajin belajarnya biar bisa dapet nilai UN tertinggi juga, oke.” Aku mengangkat kelingkingku sebagai tanda perjanjian.
“Gatau deh kak, Faris gak yakin. Tapi tenang aja, Faris gak cuma fokus nendang bola di lapangan kok, janji.” Faris menyambut jari kelingkingku. Adikku Faris seorang anak lelaki yang cerewet, tapi aku sayang dia.
“Kak, mau kuliah di mana? Kalau kakak kuliah jauh, berarti Faris ditinggal dong? Nanti Faris belajar sama siapa?”
“Kakak belum tau, Ris. Kakak lagi nunggu pengumuman seleksi universitas lewat nilai raport nih, kamu doain yang terbaik buat kakak ya.”
“Siap kak! Pokoknya yang terbaik untuk kakak deh yaa! Oh iya kak, titip salam ya buat Kak Rian. Bilang ke dia jangan buat kakak sedih. Aku emang masih kecil belum ngerti pacaran, tapi aku gak mau ngeliat kakak sedih, oke.”
“Yaudah aku mandi dulu deh yaa, mau main bola nih, kaki udah gatel hahaha. Daahh kak.” Faris menutup pintu kamarku. Aku hanya bisa terdiam memandangnya sampai ia berlalu. Faris, adikku. Sekali lagi, aku sayang dia.
*****
“Nadhya, hari ini pengumuman seleksi universitas jalur nilai raport kan? Kamu udah liat?” Aku yang sedang asyik membaca novel menatap ayah dengan wajah lesu.
“Belum yah, Nadhya takut. Nadhya gak yakin. Nadhya gak mau buka pengumumannya.” Aku menutup wajahku dengan bantal.
“Kamu liat pengumuman gitu aja takut. Walaupun kamu gak keterima, bukan berarti kamu gak bisa lanjut kuliah. Masih banyak jalur lain, masih banyak universitas lain. Tinggal gimana usaha kamu. Di manapun kamu kuliah, itulah pilihan terbaik yang ditakdirkan untuk kamu sesuai dengan usaha kamu.” Ayah duduk di sampingku sembari mengusap kepalaku.
“Kita liat yuk kak, Faris ambil laptop yaa.” Faris beranjak dari tempat duduknya dan mengambilkan laptop untukku.
“Nih kak, ucap bismillah dulu ya.” Dengan berat hati aku mengambil laptop dari tangan Faris. Aku merasa berat. Aku takut.
“Santai saja, Nadhya.” Ayah menyemangatiku.
Aku menyalakan laptop kemudian kusambungkan wifi. Perlahan kuketik websitenya. Muncul. Aku terdiam sejenak.
“Kak kenapa bengong? Ayo cek kak.”
Aku mulai mengetik nomor induk dan memasukkan tanggal lahirku. Aku diam kembali. Aku pasrah. Bismillah.
.
.
Maaf, anda belum dinyatakan lolos Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri.
.
.
Panas. Mataku panas. Waktu terasa berhenti. Aku muat ulang website itu. Nihil. Aku tetap dinyatakan tidak lolos. Aku bangkit dari tempat duduk. Lemas. Kakiku lemas, tapi kupaksakan berlari menuju kamarku. Kututup pintu kamarku.
“Kak Nadhya!” Faris beranjak hendak mengejarku, tapi ayah menahannya.
“Biarkan kakakmu sendiri dulu, ia butuh waktu. Nanti kita hibur dia.”
Di kamar aku menangis tertahan. Sedih, pasti. Tapi harus bagaimana lagi? Ayah, Bunda, Faris, maafin Nadhya. Tolong biarkan Nadhya nangis, sedih. Nadhya janji, nangis karena hal ini cukup sekali aja, saat ini aja. Besok Nadhya akan kuat lagi, akan ceria lagi, Nadhya janji. 
*****
Seminggu kemudian aku sudah bisa menerima kenyataan. Ayah, Bunda dan Faris menjadi semangat untukku. Aku yakin bukan di sana jalanku, aku harus berjuang lebih keras lagi. Cukup jatuh sekali, jangan dua kali. Jadi kuat, jangan lemah.
Nadh?
Handphoneku bergetar tanda pesan masuk. Ternyata dari Rian, pacarku. Aku tersenyum. Dengan cepat kubalas pesan itu.
Iya, ada apa?
Beberapa detik kemudian masuk balasan dari Rian.
Aku keterima sekolah di Malang.
Aku senang, segera kubalas pesannya.
Syukurlah, selamat yaa! Akhirnya kamu sebentar lagi resmi jadi mahasiswa. Kalau pulang jangan lupa bawa apel Malang untukku, hehe.
Makasih Nadh. Aku kuliah di Malang, kamu tau artinya apa? Artinya kita bakal LDR.
LDR? Iya aku tahu, sudah berulang kali kami membahas hal ini. Belum sempat aku membalas pesannya, masuk pesan baru dari Rian.
Aku rasa kita gak akan kuat, jarak kita terlalu jauh. Aku mau kita tutup buku kita dan mulai dengan lembaran baru di buku milik kita masing-masing.
Aku diam menatap layar handphoneku. Mataku mulai terasa panas. Aku ragu untuk membalas. Ketika aku mulai mengetik pesan, muncul pesan baru lagi dari Rian.
Nadh? Kamu gak apa-apa kan? Kamu ngerti maksud aku? Kita putus ya. Aku sayang kamu, maaf.
Air mataku terjatuh. Everything is bullshit! Kamu bilang sayang? Sayang macam apa yang kamu maksud? Jarak? Jarak yang terlalu jauh katamu? Siapa dulu yang paling semangat mendorongku supaya bisa melawan jarak? Siapa dulu yang paling semangat meyakinkanku bahwa jarak tak akan merubah apapun? Dulu dengan angkuhnya kau bilang bahwa jarak bukan masalah, tapi sekarang kenapa justru jarak yang menjadi alasan kita berpisah? Aku tak kuat, segera kuketik balasan untuknya.
Terima kasih karena pernah mengisi ruangan di hatiku, sekarang kemasi barangmu dan kosongkan lagi ruangan itu. Dan juga aku telah memaafkanmu, tapi aku tak akan lupa bagaimana kau menyakitiku.
Mataku semakin panas. Kumatikan handphoneku. Tak lama pintu kamarku terbuka. Ternyata Faris adikku.
“Kak Nadhya kenapa nangis? Kakak ada masalah? Cerita ke Faris kak.” Faris duduk di tepi tempat tidurku. Aku menaruh handphoneku di atas meja kemudian memeluk Faris.
“Kakak gak apa-apa, Ris. Kakak baik-baik aja. Kakak cuma sedih karena belum bisa dapet universitas yang kakak mau.” Kulepas pelukanku dan kupandang wajah Faris.
“Kak, Faris yakin kakak pasti bisa. Kakak juga harus yakin. Faris dulu gak jago main bola, tapi Faris bertekad mau jadi pemain bola yang handal. Faris yakin bisa, Faris berusaha dan berdoa. Akhirnya sekarang bola dan lapangan jadi sahabat Faris. Jangan patah semangat kak, kakak hebat!” Faris mengepalkan tangannya ke udara sembari memamerkan gigi-giginya.
“Oh iya kak, Faris ke sini mau ngasih tau kalau dua minggu lagi tanggal 10, Faris mau ikut pertandingan sepak bola di Jakarta. Doain Faris pulang bawa piala ya kak!”  
“Wah hebat kamu, Ris! Tanggal 10? Itu kan tanggal pengumuman penerimaan mahasiswa baru di sekolah yang kakak daftar.”
“Iya kak? Yaudah kalau gitu kita buat perjanjian ya. Kalau kakak keterima dan Faris menang, kita sama-sama ngasih hadiah, oke?” Faris mengangkat jari kelingkingnya di depan wajahku.
“Oke, kakak janji!” Aku menyambut kelingking Faris dan tersenyum. Dia Faris, adikku. Aku sayang dia.
*****
Dua minggu berlalu sudah. Aku telah melupakan Rian, kini aku kuat kembali. Aku sangat bersemangat hari ini, entah atmosfer apa yang menyelimutiku. Hari ini aku yakin kabar baik akan datang untuk aku dan Faris.
Handphoneku berdering tanda pesan masuk.
Kak, satu jam lagi Faris main. Doakan Faris kak. Cepat beli hadiah ya, karena piala itu pasti faris bawa pulang hehehe.
Aku tersenyum membacanya. Segera kubalas pesan adikku.
Pasti! Hadiah terbaik untuk kamu pokoknya, semangat!
Kusimpan handphoneku kemudian kunyalakan laptop. Aku tidak takut lagi untuk melihat pengumuman, karena kini aku telah menjadi Nadhya yang kuat. Aku percaya akan takdir terbaik untukku. Sekarang aku tidak akan mengeluh lagi.
Kubuka website dan perlahan memasukkan nomor pendaftaranku. Aku pasrah. Bismilah.
.
.
.
Selamat! Anda dinyatakan lolos seleksi! Untuk info daftar ulang, klik link di bawah ini.
.
.
.
Aku bahagia. Aku berlari menghampiri ayah dan bunda, kucium tangan mereka dan kulanjutkan dengan sujud syukur. Ayah dan bunda senang, mereka memelukku. Aku tak sabar menunggu kabar dari adikku.
*****
Malam harinya aku dibangunkan oleh ayahku. Aku tertidur di sofa ruang tamu karena menunggu Faris pulang. Kulihat handphoneku ada satu pesan baru yang masuk tadi sore.
Kak, selamat ya! Akhirnya kakak sebentar lagi resmi jadi mahasiswi. Aku udah siapin hadiah buat kakak, buka laci meja belajarku ya! Aku sekarang ada di perjalanan pulang, teman-temanku kelelahan, kami butuh banyak istirahat. Tenang saja kak, piala ada di tanganku sekarang!
Aku sangat senang membacanya, rasa kantukku hilang seketika.
“Nadhya.” Ayah menyebut namaku lembut.
“Iya ayah, sebentar aku balas pesan dari Faris dulu.” Aku masih sibuk dengan handphoneku.
“Nadhya.” Ayah memanggilku sekali lagi. Aku menoleh. Terlihat kesedihan di wajah ayahku. Ada yang tidak beres.
“Kita harus pergi sekarang.” Ucap bunda.
“Ke mana bun? Ini udah malam, nanti kalau Faris pulang siapa yang buka pintu?” aku bingung. Ayah dan bunda saling tatap satu sama lain.
“Nadhya.” Ayah menghela napas, kemudian melanjutkan.
“Bus yang mengantar adikmu mengalami kecelakaan di perjalanan. Bus itu masuk ke jurang. Adikmu, Faris menjadi salah satu korban yang tidak bisa diselamatkan, nak.” Ayah menatapku dalam. Aku belum mengerti, otakku belum mencerna maksud ayahku sepenuhnya.
“Adikmu sudah tiada, Nadhya sayang.” Bunda memelukku sembari menitikkan air mata. Tubuhku kaku. Kepalaku berat. Mataku panas. Aku tak bisa berkata apa-apa. Seketika semua gelap.
*****
Angin berhembus perlahan, meniup pakaian hitam yang kukenakan. Perlahan kubuka pintu kamar Faris. Sunyi. Kulangkahkan kaki ke meja belajarnya. Terdapat banyak piala di sana. Kubuka laci meja. Ada sebuah kotak dan juga surat. Aku duduk di tepi tempat tidur. Kubuka surat itu.
Selamat Kak Nadhya!
Aku tau kakak bisa. Aku tau kakak kuat. Aku sayang kakak!
Kak maaf selama ini merepotkan kakak. Aku gak tau kenapa tiba-tiba nulis surat ini, yang jelas aku udah mulai nulis jadi harus aku selesaikan sampai akhir, hehe.
Aku ingin jadi seperti kak Nadhya. Perempuan cerdas, baik, hebat. Cerdas? Jelas. Kakak selalu meraih juara kelas selama ini, dan lagi kakak meraih peringkat pertama nilai UN di sekolah, kakak lulusan terbaik, aku bangga. Baik? Sudah pasti. Siapa yang selalu sabar mendengar curhatanku yang membosankan? Siapa yang selalu setia menemani dan mengajariku belajar? Siapa yang memelukku ketika bunda memarahiku? Siapa yang selalu berbagi apapun denganku tanpa meminta balasan? Semua itu hanya kakak yang melakukannya. Hebat? Sangat hebat! Kakak selama ini telah berperan banyak untukku. Peran sebagai kakak, bunda, guru, teman, dan juga sahabat. Aku sayang kakak!
Kak, aku tau waktu itu kakak menangis bukan karena universitas, tapi karena kakak ada masalah dengan Kak Rian kan? Aku tau itu. Apapun masalah kalian, kakak jangan benci sama kak Rian, maafin kak Rian. Kak Rian itu orang baik, aku yakin. Kakak juga orang baik, jadi jangan bersedih lagi ya!
Oh iya kak, aku udah siapin hadiah untuk kakak, semoga kakak suka. Hadiahnya gak mahal sih, soalnya uang jajanku kan gak terlalu banyak hehe. Terima ya kak. Semangat kuliahnya! Walaupun kita nanti jauh tapi hati kita selalu dekat kok kak, aduh aku kok jadi sok romantis ya hehe. Yaudah, sekali lagi selamat. Aku sayang kakak!
Air mataku tak henti mengalir. Kuletakkan surat itu kemudian kubuka kotak hadiah dari Faris. Sebuah album foto yang berisi kenangan kami dari kecil. Aku suka. Sangat suka. Terima kasih Faris, adikku. Kakak sayang kamu.


  

Kamis, 19 Mei 2016

Rindu

Ada yang bilang rindu itu menyakitkan, apalagi rindu dengan orang yang belum tentu merindukan kita. Kata Dilan sih, "Jangan rindu, berat. Kau gak akan kuat. Biar aku saja". Yaaah rindu memang berat, tapi terkadang menyenangkan. Walaupun kita gak tau pasti apakah orang yang kita rindukan itu juga rindu sama kita, tapi ada perasaan senang saat kita mengingat waktu yang telah dilewati bersama, waktu yang mungkin gak akan terulang, waktu yang amat berkesan, waktu yang mungkin ingin kita putar kembali bersamanya. Orang yang merindu memang tidak bisa berbuat banyak, apalagi orang yang merindukan secara diam-diam. Kita bisa apa? Kita harus teriak di depan banyak orang bahwa kita merindukannya? Kita kirim pesan ke semua orang bahwa kita merindukannya? So? Who cares? Nobody cares! Salah satu cara mengobati rindu adalah bertemu langsung dengan orang itu, atau sekedar melihat wajahnya saja akan mengobati rasa rindu walaupun gak sepenuhnya.
Rindu memang datang tanpa diminta, walaupun sesaat tapi tetap terasa berat. Bukan, bukan rindu yang membuatnya menjadi berat. Tapi perasaannya lah yang buat rindu jadi terasa berat. Di saat merasakan rindu terkadang imajinasi kita menjadi "liar" dan penuh pertanyaan, "apakah dia merindukanku juga?", "apakah dia masih ingat waktu-waktu yang pernah dilewati bersama?", "apakah dia ingin mengulang semuanya kembali bersamaku?", atau "apakah dia telah melupakan semuanya?" dan dari berbagai macam pertanyaan itu kita punya pilihan, cari tahu sendiri jawabannya atau cukup diam menahan rindu dengan rasa penasaran? That's your choice guys.
Menjadi perindu memang tak semudah yang dipikirkan, tapi betapa senangnya jika kita menjadi orang yang dirindukan. Rindu dengan pasangan yang jauh dari kita? Rindu dengan seseorang yang sikapnya telah berubah terhadap kita? Rindu dengan anggota keluarga yang lama tidak bertemu? Rindu dengan teman-teman, sahabat dan kerabat? atau rindu yang tak terbalaskan? SUDAH, gue pernah mengalaminya. Macam rindu seperti apa lagi yang harus gue rasakan? Rindu paling beratpun udah gue rasakan, yaitu rindu dengan seseorang yang tak mungkin kembali hidup di dunia.
Kenapa rindu selalu hadir? Kenapa rindu gak ngasih gue kesempatan untuk mengobati rindu-rindu sebelumnya? Tapi bagaimanapun sakitnya merindu, gue akan tetap rindu kalian. Iya kalian. Kalian yang pernah ada di hari-hari gue, kalian yang ada di daftar pertemanan sosmed gue, kalian yang sekarang mungkin gak inget dengan gue, kalian yang baca tulisan di blog gue, dan kalian yang gak mau keluar dari pikiran gue. Terima kasih telah menancapkan rasa rindu yang entah di mana ujungnya.

Sabtu, 16 April 2016

Catatan Hati Seorang Icha

Malam Minggu pertama seorang pelajar pengangguran. Well, itu mungkin caption yang pas untuk gue malem ini. Kenapa pengangguran? Yhaa karena gue lagi ada di masa 'mau sekolah tapi gak ada urusan lagi'. Gue siswi kelas XII yang baru aja selesai UNBK hari Selasa kemarin dan menjalani hari bebas tanpa sekolah. Banyak adik kelas gue yang nanya "Kak, gimana UN kemaren?" dan gue selalu jawab "UNBK memang asyik", yeahhh that's fact 'UNBK memang asyik'. Kenapa? Karena tangan gue terselamatkan dari pegal-pegal akibat menghitamkan lembar jawaban, tapi waktu UNBK pundak gue yang sakit karena kursi gue gak ada sandarannya, beginikah nasib jomblo bahkan kursi pun gamau jadi sandaran gue hhh. Oke lupakan tentang UNBK. 
Masa 'pengangguran' ini adalah masa-masa yang selalu buat gue dilema. Mau sekolah tapi gak ada urusan, mau kumpul sama temen tapi udah pada sibuk, mau belajar tapi butuh refreshing, mau jalan bareng pacar tapi gak punya pacar yaudah akhirnya mandangin poto mantan seharian haelah. Ada satu pertanyaan yang gue selalu bingung jawabnya, lebih bingung dari sebuah pertanyaan "mau gak jadi pacar gue?", yaitu "Kak Icha nanti mau kuliah di mana?" jlebbbb, setiap kali ada yang nanya begitu gue pasti diem sejenak dan jawab "coba tebak di mana hayooo hahahah" dan orang yang nanya pasti ngomel-ngomel and finally gue jawab dengan wajah imut binti amit "pokoknya doain yang terbaik yhaa" dan percakapan selesai. Gue jawab begitu yaa ada alasanya, karena gue emang belum tau, gue ulang BELUM TAU, lah gue aja lagi harap-harap penuh harap nunggu pengumuman universitas, so gue belum bisa ngasih jawaban pasti untuk kalian yang bertanya, pokoknya doakan yang terbaik, muaahh.
Di masa peralihan status ini pikiran gue bener-bener melayang kemana-mana, gimana gue waktu kuliah nanti? Gimana gue di kosan nanti? Gimana gue dapet temen-temen nanti? Gimana gue bisa ngehasilin uang sendiri nanti? Gimana kalo gue gabisa bernapas lagi nanti? Semua pikiran itu melayang-layang bagaikan kenangan bersamanya yang masih terbayang hoamm. Tapi yang bener-bener kerasa di masa pengangguran ini ya kesepian. Para sohib gue udah pada kemana-mana buat bimbel di tempat terbaik menurut mereka, yaa gue mah apa atuh kalo kangen cuma bisa ngeliatin foto mereka sambil mengenang masa-masa bersama dulu. Tapi no problem, gue yakin perpisahan ini cuma sementara, nantinya kita bakal kumpul lagi dengan almamater masing-masing, selanjutnya dengan toga masing-masing, terus dengan gandengan masing-masing dan dengan gendongan masing-masing, gue percaya itu guys. 
So, where we go? I don't know. Gue bukan seorang peramal yang bisa tau gimana keadaan gue nantinya, tapi gue adalah seorang perancang yang bakal desain masa depan gue sebaik mungkin dengan ridha-Nya. Ini awal dari perpisahan kita tapi ini juga awal dari kedewasaan kita. Gue gak mau terlalu larut karena perbedaan jarak, karena sejauh apapun jarak kalo emang niatnya kuat pasti jarak bisa diminimalisir bahkan dihilangkan. Yaaa pokoknya pesan dari gue kenalin diri lo, biarkan orang mengenal lo, lakuin yang terbaik buat lo dan orang-orang di sekitar lo. Salam semangat dari pejuang kehidupan dunia akherat!

Sabtu, 26 September 2015

Check it Out



Hai guys! Sekian lama akhirnya gue muncul lagi :D dan kali ini gue nyoba buat cerpen, maklumin yah namanya baru belajar hehe.

Cinta dalam Diam

Diam
Dalam diam aku memikirkanmu
Dalam diam aku mengagumimu
Dalam diam kucoba menggapaimu
Dalam diam tangisku untukmu
Dalam diam kau lah bahagiaku
Naurel menutup buku harian yang baru dibelinya. Perasaannya amat kacau hingga dia hampir menangis. Dua tahun yang lalu ia membuang semua kenangan yang tertulis di buku hariannya, namun dalam sekejap kenangan itu muncul kembali dan terasa amat sakit.
“Hai Rel, kamu kok sendirian aja di sini?” Ozan meniup telinga Naurel, sebuah kebiasaan yang selalu dilakukan Ozan ketika bersama Naurel.
“Ih Ozan apaan sih, geli tau! Terserah aku dong mau di sini sama siapa, bukan urusan kamu!” Naurel beranjak pergi meninggalkan Ozan yang ternganga melihat sikapnya.
“Naurel dulu bukan gadis yang ketus seperti sekarang.” batin Ozan seraya menatap Naurel yang telah berlalu meninggalkannya.
******
Ozan sangat bersemangat karena hari ini adalah hari pertama di kampus barunya, kampus yang sama dengan Naurel.
“Naurel! Rellll!” Ozan memanggil Naurel yang berjalan cukup jauh di depannya. Naurel semakin mempercepat langkahnya hingga Ozan harus berlari.
“Naurel, kamu kenapa sih? Aku kan baru di kampus ini, temenin kek apa kek.” Ozan menahan tangan Naurel dengan nafas terengah-engah.
“Suruh siapa kamu pindah ke sini? Kenapa gak terus aja di London?” Naurel bertanya dengan tatapan sedingin es.
“Lah emang aku salah pindah ke sini? Sikap kamu kenapa berubah gini sih? Salah aku apa Rel?” Ozan menatap Naurel dengan tatapan tajam. Naurel hanya diam dengan tatapan kosong.
“Rel jawab dong jangan diem aja!” Ozan membentak Naurel. Naurel masih terdiam.
“Paling gak enak ngomong sama patung!“  Ozan pergi meninggalkan Naurel yang menangis dalam diamnya.
******
Kau tahu karang di lautan?
Yang kokoh saat terkena ombak?
Yang tak terlihat ketika air laut pasang?
Dan yang terkikis seiring waktu berjalan?
Itu lah aku bagimu
Yang terlihat kokoh walaupun rapuh
Yang tak kau ingat ketika kau di atas
Dan yang kau lupakan seiring waktu berjalan
Naurel diam menatap handphone di samping buku diary nya. Ia merasa bersalah terhadap Ozan. Naurel akhirnya mengirim sebuah pesan singkat kepada Ozan.
Ozan, aku minta maaf atas sikapku akhir-akhir ini.
Tidak berapa lama Ozan membalas pesan singkatnya.
Iya Rel aku juga minta maaf ya. Kita ketemuan di taman kampus yuk, aku tunggu kamu sekarang ya J
Naurel beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju taman kampus.
******

“Hai Rel, akhirnya kamu dateng juga.” Ozan tersenyum melihat kedatangan Naurel.
“Kamu kenapa mau ketemu aku di sini?” Naurel duduk di samping Ozan.
“Gak ada alasan sih, kita kan udah lama gak ngobrol gini, kamu gak suka?”
“Gak masalah kok Zan.”
“Rel, kamu gak nanya kenapa aku pindah dari London ke sini?” Ozan menatap Naurel.
“Itu kan privasi kamu, aku gak mau ikut campur urusan orang.”
“Hahaha kamu belum berubah ya Rel, masih semanis gula.” Ozan menggoda Naurel.
“Zan, maaf ya aku harus pulang sekarang. Boleh kan?”
“Boleh kok, kamu mau aku antar pulang?”
“Gak usah, aku bisa pulang sendiri. Aku duluan ya.” Naurel beranjak meninggalkan Ozan.
“Hati-hati di jalan Naurel.” Ucap Ozan lirih.
******
Sore harinya, Ozan menelepon Naurel tapi tidak diangkat. Berkali-kali ia coba tetap tidak dijawab. Akhirnya Ozan memutuskan pergi ke rumah Naurel.
Ozan bingung karena di jalan kecil menuju rumah Naurel sangat ramai. Ozan pun mempercepat laju motornya. Ozan terkejut ketika ia melihat bendera kuning di depan rumah Naurel, rumah yang dua tahun lalu rutin ia kunjungi setiap minggunya.
“Nak Ozan?” Ayah Naurel menyapa Ozan yang masih terkejut.
“Nak Ozan kapan kembali ke sini? Kok Naurel gak cerita apa-apa?” Ayah Naurel bertanya.
“Baru seminggu ini kok Om, Naurel ada di rumah om?” Ozan tak sabar ingin bertemu dengan Naurel.
“Nak Ozan masuk saja ke dalam.” Ayah Naurel mengajak Ozan masuk ke rumahnya. Ozan masih bertanya-tanya, apa yang terjadi di rumah Naurel.
Ozan melihat seseorang terbaring dengan tertutup kain di tengah ruangan.
“Om, Naurel di mana?” Ozan bertanya kepada Ayah Naurel yang menatap mayat tersebut seraya menahan kesedihannya. 
“Naurel ditodong preman sepulang dari kampus. Ia mencoba menelepon polisi, tapi salah satu preman itu menusuk Naurel tepat di jantungnya.”
Ozan tak percaya apa yang baru saja ia dengar. Bagaikan disambar petir, perasannya kacau, teramat kacau. Ia tak mengira secepat itu Naurel meninggalkannya. Perlahan Ozan mendekati Naurel dan membuka kain yang menutupi wajahnya, seketika itu pula semua terlihat gelap gulita. Ozan pingsan.
******
Seminggu kemudian, Ozan telah berada di kamar Naurel. Ia kini bisa menerima kenyataan walaupun perasannya kian hancur. Ia menemukan sebuah buku diary Naurel yang sedikit usang di lemari kamarnya. Ozan membaca lembar demi lembar.
20 Maret 2007
Ozan. Nama itu yang selalu buat hariku semangat. Dari kecil kami bersama dan sekarang aku baru menyadari bahwa aku mencintainya.
Ozan tercengang membaca tulisan Naurel di diary itu.
04 April 2007
Seiring waktu berjalan, perasaanku ke Ozan semakin bertambah. Aku senang berada di dekatnya, aku senang bercanda bersamanya, dan aku senang melewati hari-hariku dengannya. Tapi aku tak ingin merusak persahabatan yang telah lama kami jalin. Biarlah semua ini kurasakan dalam diam.
27 April 2007
Baiklah, sekarang kau meninggalkanku begitu saja? Kau pergi tanpa kabar? Oke, akan kukubur semua kenangan kita, akan kucoba untuk melupakan semua tentangmu, bye Ozan!
Ozan membaca lembaran terakhir buku diary itu. Ia kaget, ternyata itulah yang membuat sikap Naurel berubah. Dua tahun yang lalu, Ozan mendadak harus ke London karena kakeknya meninggal kemudian ia melanjutkan sekolah di sana, ia ingin menghubungi Naurel, tapi ia tidak memiliki kontaknya.
Ozan mengambil pulpen dan mulai menulis di buku diary Naurel.
30 Maret 2009
Naurel
Seorang perempuan yang selalu ceria
Seorang gadis yang tak pernah murka
Seseorang yang selalu menjadi alasanku tertawa
Seseorang yang membuat aku kembali padanya
Naurel
Engkau dahulu gadis kecilku
Engkau yang selalu menemaniku
Maafkan aku telah mengecewakanmu
Tetaplah mencintaiku dalam diammu
By : Ozan yang selalu mencintaimu





Keras Hati

Hai! Apa kabar hari ini? Sudahkah berdamai dengan diri sendiri? Perihal apapun itu, kamu harus berdamai dengan dirimu.  Hatiku terlalu ke...