“Berdiri kalian semua di lapangan!
Jangan ada yang duduk sampai ada perintah dari saya!” Dengan semangat Faris
meniru suara dan gaya gurunya yang marah karena kelakuan teman-teman
sekelasnya.
Ahmad Faris, dia adalah adikku yang
masih duduk di kelas 2 SMP. Seorang ketua kelas dan juga pemain sepak bola
terbaik di sekolahnya. Tidak begitu menonjol di bidang akademik tetapi jago
bermain musik.
“Gitu kak, pokoknya Pak Burhan tadi
galak banget deh. Padahal kan yang buat masalah rombongannya si itu tuh, Haris. Emang dasar biang kerok
mereka itu. Jadinya kita semua deh yang dihukum.” Faris terus menggerutu.
“Ya kamu sebagai ketua kelas harusnya
tegur mereka dong supaya gak bandel lagi.” Aku mengacak-acak rambut adikku
karena gemas.
“Sudah lho kak, aku capek ngasih tau
mereka terus. Kuping mereka itu udah ada tamengnya kali ya, jadi perkataanku
gak masuk ke mereka. Masa tiap hari kita harus berdiri di lapangan terus sih
gara-gara ulah mereka? Kan panaass, belum lagi kaki pegal tau kakk.” Faris
meminum segelas susu yang baru saja diberikan oleh Bi Tati.
“Nak, kamu baru dijemur di lapangan
aja ngeluhnya luar biasa. Kamu tau pelajar zaman ayah tuh udah biasa dapet
hukuman yang lebih dari itu.” Ayahku yang sedari tadi membaca koran ikut masuk
dalam obrolan kami.
“Emangnya pelajar zaman dulu
nakal-nakal ya yah? Kok dihukum terus?” Faris bertanya dengan antusias.
“Yaaah bukan nakal, tapi kami sejak
kecil diajarkan disiplin dan hormat kepada orang yang lebih tua. Kalian enak
sekarang sekolah diantar pake mobil, dulu zaman ayah harus jalan kaki, paling
mewah yaah naik sepeda. Alas kaki pun
gak sebagus punya kalian sekarang. Syukur-syukur dulu bisa punya sepatu, kalau
gak punya ya nyeker.” Pandangan ayah
menerawang seakan-akan kembali ke masa kecilnya.
“Dan nyatanya dengan didikan seperti
itu gak buat ayah jadi bodoh kan? Tapi keadaan sekarang sudah beda. Guru
melakukan hukuman kontak fisik yang sebenarnya masih wajar, eh ujungnya
berakhir di penjara. Hhhhh.” Ayah menambahkan sembari menghela napas panjang.
“Fariiissss! Kenapa ulangan harian
matematika kamu Cuma dapet nilai 50? Nilai segini artinya belum lulus!” Bunda
muncul dari kamar Faris dengan membawa lembaran kertas.
“Nadhya, ajarin dong adik kamu ini
supaya dia pintar dan nilainya gak jeblok
terus!” Bunda berkata kepadaku sembari menyerahkan hasil ulangan harian Faris
ke ayah.
“Faris, sekarang kerjakan PR mu ya.
Nadhya, bantu adikmu.” Aku dan Faris menuruti ayah, kami segera masuk ke kamar.
“Bun,
maksa anak untuk ngelakuin sesuatu yang gak dia suka itu gak baik lho.
Kalau bunda marahin Faris terus karena nilainya jeblok, yang ada dia malah takut dan belajarnya jadi gak serius.”
Ayah menasehati bunda.
“Lah terus harus apa dong?” Bunda
bingung.
“Gak semua mata pelajaran Faris
jeblok kan? Anak gabisa dipaksa untuk suka sama semua pelajaran, kita harus
pakai cara yang bisa ngasih dia motivasi, jangan paksa dia buat dapet nilai
sempurna, pelan-pelan aja dan kasih dia pengertian baik-baik. Ayah yakin bunda
bisa. Ayah tidur dulu ya.” Setelah selesai bicara, ayah beranjak ke kamarnya
meninggalkan bunda yang masih berpikir.
*****
Lampung. Satu bulan kemudian.
“Kak Nadhyaaa! Selamat ya kakak lulus
SMA, nilai tertinggi di sekolah lagi. Cie mau kuliah ciee.” Faris yang baru
pulang sekolah langsung memelukku.
“Haha biasa aja kali, Ris. Kakak juga
gak nyangka bisa dapet nilai UN tertinggi. Kamu yang rajin belajarnya biar bisa
dapet nilai UN tertinggi juga, oke.” Aku mengangkat kelingkingku sebagai tanda
perjanjian.
“Gatau deh kak, Faris gak yakin. Tapi
tenang aja, Faris gak cuma fokus nendang bola di lapangan kok, janji.” Faris
menyambut jari kelingkingku. Adikku Faris seorang anak lelaki yang cerewet,
tapi aku sayang dia.
“Kak, mau kuliah di mana? Kalau kakak
kuliah jauh, berarti Faris ditinggal dong? Nanti Faris belajar sama siapa?”
“Kakak belum tau, Ris. Kakak lagi
nunggu pengumuman seleksi universitas lewat nilai raport nih, kamu doain yang
terbaik buat kakak ya.”
“Siap kak! Pokoknya yang terbaik
untuk kakak deh yaa! Oh iya kak, titip salam ya buat Kak Rian. Bilang ke dia
jangan buat kakak sedih. Aku emang masih kecil belum ngerti pacaran, tapi aku
gak mau ngeliat kakak sedih, oke.”
“Yaudah aku mandi dulu deh yaa, mau
main bola nih, kaki udah gatel hahaha. Daahh kak.” Faris menutup pintu kamarku.
Aku hanya bisa terdiam memandangnya sampai ia berlalu. Faris, adikku. Sekali
lagi, aku sayang dia.
*****
“Nadhya, hari ini pengumuman seleksi
universitas jalur nilai raport kan? Kamu udah liat?” Aku yang sedang asyik
membaca novel menatap ayah dengan wajah lesu.
“Belum yah, Nadhya takut. Nadhya gak
yakin. Nadhya gak mau buka pengumumannya.” Aku menutup wajahku dengan bantal.
“Kamu liat pengumuman gitu aja takut.
Walaupun kamu gak keterima, bukan berarti kamu gak bisa lanjut kuliah. Masih
banyak jalur lain, masih banyak universitas lain. Tinggal gimana usaha kamu. Di
manapun kamu kuliah, itulah pilihan terbaik yang ditakdirkan untuk kamu sesuai
dengan usaha kamu.” Ayah duduk di sampingku sembari mengusap kepalaku.
“Kita liat yuk kak, Faris ambil
laptop yaa.” Faris beranjak dari tempat duduknya dan mengambilkan laptop
untukku.
“Nih kak, ucap bismillah dulu ya.”
Dengan berat hati aku mengambil laptop dari tangan Faris. Aku merasa berat. Aku
takut.
“Santai saja, Nadhya.” Ayah
menyemangatiku.
Aku menyalakan laptop kemudian
kusambungkan wifi. Perlahan kuketik websitenya. Muncul. Aku terdiam sejenak.
“Kak kenapa bengong? Ayo cek kak.”
Aku mulai mengetik nomor induk dan
memasukkan tanggal lahirku. Aku diam kembali. Aku pasrah. Bismillah.
.
.
Maaf, anda belum dinyatakan
lolos Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri.
.
.
Panas. Mataku panas. Waktu terasa
berhenti. Aku muat ulang website itu. Nihil. Aku tetap dinyatakan tidak lolos.
Aku bangkit dari tempat duduk. Lemas. Kakiku lemas, tapi kupaksakan berlari
menuju kamarku. Kututup pintu kamarku.
“Kak Nadhya!” Faris beranjak hendak
mengejarku, tapi ayah menahannya.
“Biarkan kakakmu sendiri dulu, ia
butuh waktu. Nanti kita hibur dia.”
Di kamar aku menangis tertahan. Sedih,
pasti. Tapi harus bagaimana lagi? Ayah, Bunda, Faris, maafin Nadhya. Tolong
biarkan Nadhya nangis, sedih. Nadhya janji, nangis karena hal ini cukup sekali
aja, saat ini aja. Besok Nadhya akan kuat lagi, akan ceria lagi, Nadhya janji.
*****
Seminggu kemudian aku sudah bisa
menerima kenyataan. Ayah, Bunda dan Faris menjadi semangat untukku. Aku yakin
bukan di sana jalanku, aku harus berjuang lebih keras lagi. Cukup jatuh sekali,
jangan dua kali. Jadi kuat, jangan lemah.
Nadh?
Handphoneku bergetar tanda pesan
masuk. Ternyata dari Rian, pacarku. Aku tersenyum. Dengan cepat kubalas pesan
itu.
Iya, ada apa?
Beberapa detik kemudian masuk balasan
dari Rian.
Aku keterima sekolah di Malang.
Aku senang, segera kubalas pesannya.
Syukurlah, selamat yaa! Akhirnya kamu sebentar lagi resmi
jadi mahasiswa. Kalau pulang jangan lupa bawa apel Malang untukku, hehe.
Makasih Nadh. Aku kuliah di
Malang, kamu tau artinya apa? Artinya kita bakal LDR.
LDR? Iya aku tahu, sudah berulang
kali kami membahas hal ini. Belum sempat aku membalas pesannya, masuk pesan
baru dari Rian.
Aku rasa kita gak akan
kuat, jarak kita terlalu jauh. Aku mau kita tutup buku kita dan mulai dengan
lembaran baru di buku milik kita masing-masing.
Aku diam menatap layar handphoneku.
Mataku mulai terasa panas. Aku ragu untuk membalas. Ketika aku mulai mengetik
pesan, muncul pesan baru lagi dari Rian.
Nadh? Kamu gak apa-apa kan?
Kamu ngerti maksud aku? Kita putus ya. Aku sayang kamu, maaf.
Air mataku terjatuh. Everything is
bullshit! Kamu bilang sayang? Sayang macam apa yang kamu maksud? Jarak? Jarak
yang terlalu jauh katamu? Siapa dulu yang paling semangat mendorongku supaya
bisa melawan jarak? Siapa dulu yang paling semangat meyakinkanku bahwa jarak
tak akan merubah apapun? Dulu dengan angkuhnya kau bilang bahwa jarak bukan
masalah, tapi sekarang kenapa justru jarak yang menjadi alasan kita berpisah?
Aku tak kuat, segera kuketik balasan untuknya.
Terima kasih karena pernah mengisi ruangan di hatiku,
sekarang kemasi barangmu dan kosongkan lagi ruangan itu. Dan juga aku telah
memaafkanmu, tapi aku tak akan lupa bagaimana kau menyakitiku.
Mataku semakin panas. Kumatikan
handphoneku. Tak lama pintu kamarku terbuka. Ternyata Faris adikku.
“Kak Nadhya kenapa nangis? Kakak ada
masalah? Cerita ke Faris kak.” Faris duduk di tepi tempat tidurku. Aku menaruh
handphoneku di atas meja kemudian memeluk Faris.
“Kakak gak apa-apa, Ris. Kakak
baik-baik aja. Kakak cuma sedih karena belum bisa dapet universitas yang kakak
mau.” Kulepas pelukanku dan kupandang wajah Faris.
“Kak, Faris yakin kakak pasti bisa.
Kakak juga harus yakin. Faris dulu gak jago main bola, tapi Faris bertekad mau
jadi pemain bola yang handal. Faris yakin bisa, Faris berusaha dan berdoa.
Akhirnya sekarang bola dan lapangan jadi sahabat Faris. Jangan patah semangat
kak, kakak hebat!” Faris mengepalkan tangannya ke udara sembari memamerkan
gigi-giginya.
“Oh iya kak, Faris ke sini mau ngasih
tau kalau dua minggu lagi tanggal 10, Faris mau ikut pertandingan sepak bola di
Jakarta. Doain Faris pulang bawa piala ya kak!”
“Wah hebat kamu, Ris! Tanggal 10? Itu
kan tanggal pengumuman penerimaan mahasiswa baru di sekolah yang kakak daftar.”
“Iya kak? Yaudah kalau gitu kita buat
perjanjian ya. Kalau kakak keterima dan Faris menang, kita sama-sama ngasih
hadiah, oke?” Faris mengangkat jari kelingkingnya di depan wajahku.
“Oke, kakak janji!” Aku menyambut
kelingking Faris dan tersenyum. Dia Faris, adikku. Aku sayang dia.
*****
Dua minggu berlalu sudah. Aku telah
melupakan Rian, kini aku kuat kembali. Aku sangat bersemangat hari ini, entah
atmosfer apa yang menyelimutiku. Hari ini aku yakin kabar baik akan datang
untuk aku dan Faris.
Handphoneku berdering tanda pesan
masuk.
Kak, satu jam lagi Faris main. Doakan Faris kak. Cepat beli
hadiah ya, karena piala itu pasti faris bawa pulang hehehe.
Aku tersenyum membacanya. Segera
kubalas pesan adikku.
Pasti! Hadiah terbaik untuk kamu pokoknya, semangat!
Kusimpan handphoneku kemudian kunyalakan
laptop. Aku tidak takut lagi untuk melihat pengumuman, karena kini aku telah
menjadi Nadhya yang kuat. Aku percaya akan takdir terbaik untukku. Sekarang aku
tidak akan mengeluh lagi.
Kubuka website dan perlahan
memasukkan nomor pendaftaranku. Aku pasrah. Bismilah.
.
.
.
Selamat! Anda dinyatakan
lolos seleksi! Untuk info daftar ulang, klik link di bawah ini.
.
.
.
Aku bahagia. Aku berlari menghampiri
ayah dan bunda, kucium tangan mereka dan kulanjutkan dengan sujud syukur. Ayah
dan bunda senang, mereka memelukku. Aku tak sabar menunggu kabar dari adikku.
*****
Malam harinya aku dibangunkan oleh
ayahku. Aku tertidur di sofa ruang tamu karena menunggu Faris pulang. Kulihat handphoneku
ada satu pesan baru yang masuk tadi sore.
Kak, selamat ya! Akhirnya kakak sebentar lagi resmi jadi
mahasiswi. Aku udah siapin hadiah buat kakak, buka laci meja belajarku ya! Aku
sekarang ada di perjalanan pulang, teman-temanku kelelahan, kami butuh banyak
istirahat. Tenang saja kak, piala ada di tanganku sekarang!
Aku sangat senang membacanya, rasa
kantukku hilang seketika.
“Nadhya.” Ayah menyebut namaku
lembut.
“Iya ayah, sebentar aku balas pesan
dari Faris dulu.” Aku masih sibuk dengan handphoneku.
“Nadhya.” Ayah memanggilku sekali
lagi. Aku menoleh. Terlihat kesedihan di wajah ayahku. Ada yang tidak beres.
“Kita harus pergi sekarang.” Ucap
bunda.
“Ke mana bun? Ini udah malam, nanti
kalau Faris pulang siapa yang buka pintu?” aku bingung. Ayah dan bunda saling
tatap satu sama lain.
“Nadhya.” Ayah menghela napas,
kemudian melanjutkan.
“Bus yang mengantar adikmu mengalami
kecelakaan di perjalanan. Bus itu masuk ke jurang. Adikmu, Faris menjadi salah
satu korban yang tidak bisa diselamatkan, nak.” Ayah menatapku dalam. Aku belum
mengerti, otakku belum mencerna maksud ayahku sepenuhnya.
“Adikmu sudah tiada, Nadhya sayang.”
Bunda memelukku sembari menitikkan air mata. Tubuhku kaku. Kepalaku berat.
Mataku panas. Aku tak bisa berkata apa-apa. Seketika semua gelap.
*****
Angin berhembus perlahan, meniup
pakaian hitam yang kukenakan. Perlahan kubuka pintu kamar Faris. Sunyi.
Kulangkahkan kaki ke meja belajarnya. Terdapat banyak piala di sana. Kubuka
laci meja. Ada sebuah kotak dan juga surat. Aku duduk di tepi tempat tidur.
Kubuka surat itu.
Selamat Kak
Nadhya!
Aku tau kakak
bisa. Aku tau kakak kuat. Aku sayang kakak!
Kak maaf selama
ini merepotkan kakak. Aku gak tau kenapa tiba-tiba nulis surat ini, yang jelas
aku udah mulai nulis jadi harus aku selesaikan sampai akhir, hehe.
Aku ingin jadi
seperti kak Nadhya. Perempuan cerdas, baik, hebat. Cerdas? Jelas. Kakak selalu
meraih juara kelas selama ini, dan lagi kakak meraih peringkat pertama nilai UN
di sekolah, kakak lulusan terbaik, aku bangga. Baik? Sudah pasti. Siapa yang
selalu sabar mendengar curhatanku yang membosankan? Siapa yang selalu setia
menemani dan mengajariku belajar? Siapa yang memelukku ketika bunda memarahiku?
Siapa yang selalu berbagi apapun denganku tanpa meminta balasan? Semua itu
hanya kakak yang melakukannya. Hebat? Sangat hebat! Kakak selama ini telah
berperan banyak untukku. Peran sebagai kakak, bunda, guru, teman, dan juga
sahabat. Aku sayang kakak!
Kak, aku tau
waktu itu kakak menangis bukan karena universitas, tapi karena kakak ada
masalah dengan Kak Rian kan? Aku tau itu. Apapun masalah kalian, kakak jangan benci
sama kak Rian, maafin kak Rian. Kak Rian itu orang baik, aku yakin. Kakak juga
orang baik, jadi jangan bersedih lagi ya!
Oh iya kak, aku
udah siapin hadiah untuk kakak, semoga kakak suka. Hadiahnya gak mahal sih,
soalnya uang jajanku kan gak terlalu banyak hehe. Terima ya kak. Semangat
kuliahnya! Walaupun kita nanti jauh tapi hati kita selalu dekat kok kak, aduh
aku kok jadi sok romantis ya hehe. Yaudah, sekali lagi selamat. Aku sayang
kakak!
Air mataku tak henti mengalir. Kuletakkan
surat itu kemudian kubuka kotak hadiah dari Faris. Sebuah album foto yang
berisi kenangan kami dari kecil. Aku suka. Sangat suka. Terima kasih Faris,
adikku. Kakak sayang kamu.