Senin, 13 Juni 2016

Surat Terakhir



 “Berdiri kalian semua di lapangan! Jangan ada yang duduk sampai ada perintah dari saya!” Dengan semangat Faris meniru suara dan gaya gurunya yang marah karena kelakuan teman-teman sekelasnya.
Ahmad Faris, dia adalah adikku yang masih duduk di kelas 2 SMP. Seorang ketua kelas dan juga pemain sepak bola terbaik di sekolahnya. Tidak begitu menonjol di bidang akademik tetapi jago bermain musik.
“Gitu kak, pokoknya Pak Burhan tadi galak banget deh. Padahal kan yang buat masalah rombongannya si itu tuh, Haris. Emang dasar biang kerok mereka itu. Jadinya kita semua deh yang dihukum.” Faris terus menggerutu.
“Ya kamu sebagai ketua kelas harusnya tegur mereka dong supaya gak bandel lagi.” Aku mengacak-acak rambut adikku karena gemas.
“Sudah lho kak, aku capek ngasih tau mereka terus. Kuping mereka itu udah ada tamengnya kali ya, jadi perkataanku gak masuk ke mereka. Masa tiap hari kita harus berdiri di lapangan terus sih gara-gara ulah mereka? Kan panaass, belum lagi kaki pegal tau kakk.” Faris meminum segelas susu yang baru saja diberikan oleh Bi Tati.
“Nak, kamu baru dijemur di lapangan aja ngeluhnya luar biasa. Kamu tau pelajar zaman ayah tuh udah biasa dapet hukuman yang lebih dari itu.” Ayahku yang sedari tadi membaca koran ikut masuk dalam obrolan kami.
“Emangnya pelajar zaman dulu nakal-nakal ya yah? Kok dihukum terus?” Faris bertanya dengan antusias.
“Yaaah bukan nakal, tapi kami sejak kecil diajarkan disiplin dan hormat kepada orang yang lebih tua. Kalian enak sekarang sekolah diantar pake mobil, dulu zaman ayah harus jalan kaki, paling mewah yaah naik sepeda. Alas kaki pun gak sebagus punya kalian sekarang. Syukur-syukur dulu bisa punya sepatu, kalau gak punya ya nyeker.” Pandangan ayah menerawang seakan-akan kembali ke masa kecilnya.
“Dan nyatanya dengan didikan seperti itu gak buat ayah jadi bodoh kan? Tapi keadaan sekarang sudah beda. Guru melakukan hukuman kontak fisik yang sebenarnya masih wajar, eh ujungnya berakhir di penjara. Hhhhh.” Ayah menambahkan sembari menghela napas panjang.
“Fariiissss! Kenapa ulangan harian matematika kamu Cuma dapet nilai 50? Nilai segini artinya belum lulus!” Bunda muncul dari kamar Faris dengan membawa lembaran kertas.
“Nadhya, ajarin dong adik kamu ini supaya dia pintar dan nilainya gak jeblok terus!” Bunda berkata kepadaku sembari menyerahkan hasil ulangan harian Faris ke ayah.
“Faris, sekarang kerjakan PR mu ya. Nadhya, bantu adikmu.” Aku dan Faris menuruti ayah, kami segera masuk ke kamar.
“Bun,  maksa anak untuk ngelakuin sesuatu yang gak dia suka itu gak baik lho. Kalau bunda marahin Faris terus karena nilainya jeblok, yang ada dia malah takut dan belajarnya jadi gak serius.” Ayah menasehati bunda.
“Lah terus harus apa dong?” Bunda bingung.
“Gak semua mata pelajaran Faris jeblok kan? Anak gabisa dipaksa untuk suka sama semua pelajaran, kita harus pakai cara yang bisa ngasih dia motivasi, jangan paksa dia buat dapet nilai sempurna, pelan-pelan aja dan kasih dia pengertian baik-baik. Ayah yakin bunda bisa. Ayah tidur dulu ya.” Setelah selesai bicara, ayah beranjak ke kamarnya meninggalkan bunda yang masih berpikir.
*****
Lampung. Satu bulan kemudian.
“Kak Nadhyaaa! Selamat ya kakak lulus SMA, nilai tertinggi di sekolah lagi. Cie mau kuliah ciee.” Faris yang baru pulang sekolah langsung memelukku.
“Haha biasa aja kali, Ris. Kakak juga gak nyangka bisa dapet nilai UN tertinggi. Kamu yang rajin belajarnya biar bisa dapet nilai UN tertinggi juga, oke.” Aku mengangkat kelingkingku sebagai tanda perjanjian.
“Gatau deh kak, Faris gak yakin. Tapi tenang aja, Faris gak cuma fokus nendang bola di lapangan kok, janji.” Faris menyambut jari kelingkingku. Adikku Faris seorang anak lelaki yang cerewet, tapi aku sayang dia.
“Kak, mau kuliah di mana? Kalau kakak kuliah jauh, berarti Faris ditinggal dong? Nanti Faris belajar sama siapa?”
“Kakak belum tau, Ris. Kakak lagi nunggu pengumuman seleksi universitas lewat nilai raport nih, kamu doain yang terbaik buat kakak ya.”
“Siap kak! Pokoknya yang terbaik untuk kakak deh yaa! Oh iya kak, titip salam ya buat Kak Rian. Bilang ke dia jangan buat kakak sedih. Aku emang masih kecil belum ngerti pacaran, tapi aku gak mau ngeliat kakak sedih, oke.”
“Yaudah aku mandi dulu deh yaa, mau main bola nih, kaki udah gatel hahaha. Daahh kak.” Faris menutup pintu kamarku. Aku hanya bisa terdiam memandangnya sampai ia berlalu. Faris, adikku. Sekali lagi, aku sayang dia.
*****
“Nadhya, hari ini pengumuman seleksi universitas jalur nilai raport kan? Kamu udah liat?” Aku yang sedang asyik membaca novel menatap ayah dengan wajah lesu.
“Belum yah, Nadhya takut. Nadhya gak yakin. Nadhya gak mau buka pengumumannya.” Aku menutup wajahku dengan bantal.
“Kamu liat pengumuman gitu aja takut. Walaupun kamu gak keterima, bukan berarti kamu gak bisa lanjut kuliah. Masih banyak jalur lain, masih banyak universitas lain. Tinggal gimana usaha kamu. Di manapun kamu kuliah, itulah pilihan terbaik yang ditakdirkan untuk kamu sesuai dengan usaha kamu.” Ayah duduk di sampingku sembari mengusap kepalaku.
“Kita liat yuk kak, Faris ambil laptop yaa.” Faris beranjak dari tempat duduknya dan mengambilkan laptop untukku.
“Nih kak, ucap bismillah dulu ya.” Dengan berat hati aku mengambil laptop dari tangan Faris. Aku merasa berat. Aku takut.
“Santai saja, Nadhya.” Ayah menyemangatiku.
Aku menyalakan laptop kemudian kusambungkan wifi. Perlahan kuketik websitenya. Muncul. Aku terdiam sejenak.
“Kak kenapa bengong? Ayo cek kak.”
Aku mulai mengetik nomor induk dan memasukkan tanggal lahirku. Aku diam kembali. Aku pasrah. Bismillah.
.
.
Maaf, anda belum dinyatakan lolos Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri.
.
.
Panas. Mataku panas. Waktu terasa berhenti. Aku muat ulang website itu. Nihil. Aku tetap dinyatakan tidak lolos. Aku bangkit dari tempat duduk. Lemas. Kakiku lemas, tapi kupaksakan berlari menuju kamarku. Kututup pintu kamarku.
“Kak Nadhya!” Faris beranjak hendak mengejarku, tapi ayah menahannya.
“Biarkan kakakmu sendiri dulu, ia butuh waktu. Nanti kita hibur dia.”
Di kamar aku menangis tertahan. Sedih, pasti. Tapi harus bagaimana lagi? Ayah, Bunda, Faris, maafin Nadhya. Tolong biarkan Nadhya nangis, sedih. Nadhya janji, nangis karena hal ini cukup sekali aja, saat ini aja. Besok Nadhya akan kuat lagi, akan ceria lagi, Nadhya janji. 
*****
Seminggu kemudian aku sudah bisa menerima kenyataan. Ayah, Bunda dan Faris menjadi semangat untukku. Aku yakin bukan di sana jalanku, aku harus berjuang lebih keras lagi. Cukup jatuh sekali, jangan dua kali. Jadi kuat, jangan lemah.
Nadh?
Handphoneku bergetar tanda pesan masuk. Ternyata dari Rian, pacarku. Aku tersenyum. Dengan cepat kubalas pesan itu.
Iya, ada apa?
Beberapa detik kemudian masuk balasan dari Rian.
Aku keterima sekolah di Malang.
Aku senang, segera kubalas pesannya.
Syukurlah, selamat yaa! Akhirnya kamu sebentar lagi resmi jadi mahasiswa. Kalau pulang jangan lupa bawa apel Malang untukku, hehe.
Makasih Nadh. Aku kuliah di Malang, kamu tau artinya apa? Artinya kita bakal LDR.
LDR? Iya aku tahu, sudah berulang kali kami membahas hal ini. Belum sempat aku membalas pesannya, masuk pesan baru dari Rian.
Aku rasa kita gak akan kuat, jarak kita terlalu jauh. Aku mau kita tutup buku kita dan mulai dengan lembaran baru di buku milik kita masing-masing.
Aku diam menatap layar handphoneku. Mataku mulai terasa panas. Aku ragu untuk membalas. Ketika aku mulai mengetik pesan, muncul pesan baru lagi dari Rian.
Nadh? Kamu gak apa-apa kan? Kamu ngerti maksud aku? Kita putus ya. Aku sayang kamu, maaf.
Air mataku terjatuh. Everything is bullshit! Kamu bilang sayang? Sayang macam apa yang kamu maksud? Jarak? Jarak yang terlalu jauh katamu? Siapa dulu yang paling semangat mendorongku supaya bisa melawan jarak? Siapa dulu yang paling semangat meyakinkanku bahwa jarak tak akan merubah apapun? Dulu dengan angkuhnya kau bilang bahwa jarak bukan masalah, tapi sekarang kenapa justru jarak yang menjadi alasan kita berpisah? Aku tak kuat, segera kuketik balasan untuknya.
Terima kasih karena pernah mengisi ruangan di hatiku, sekarang kemasi barangmu dan kosongkan lagi ruangan itu. Dan juga aku telah memaafkanmu, tapi aku tak akan lupa bagaimana kau menyakitiku.
Mataku semakin panas. Kumatikan handphoneku. Tak lama pintu kamarku terbuka. Ternyata Faris adikku.
“Kak Nadhya kenapa nangis? Kakak ada masalah? Cerita ke Faris kak.” Faris duduk di tepi tempat tidurku. Aku menaruh handphoneku di atas meja kemudian memeluk Faris.
“Kakak gak apa-apa, Ris. Kakak baik-baik aja. Kakak cuma sedih karena belum bisa dapet universitas yang kakak mau.” Kulepas pelukanku dan kupandang wajah Faris.
“Kak, Faris yakin kakak pasti bisa. Kakak juga harus yakin. Faris dulu gak jago main bola, tapi Faris bertekad mau jadi pemain bola yang handal. Faris yakin bisa, Faris berusaha dan berdoa. Akhirnya sekarang bola dan lapangan jadi sahabat Faris. Jangan patah semangat kak, kakak hebat!” Faris mengepalkan tangannya ke udara sembari memamerkan gigi-giginya.
“Oh iya kak, Faris ke sini mau ngasih tau kalau dua minggu lagi tanggal 10, Faris mau ikut pertandingan sepak bola di Jakarta. Doain Faris pulang bawa piala ya kak!”  
“Wah hebat kamu, Ris! Tanggal 10? Itu kan tanggal pengumuman penerimaan mahasiswa baru di sekolah yang kakak daftar.”
“Iya kak? Yaudah kalau gitu kita buat perjanjian ya. Kalau kakak keterima dan Faris menang, kita sama-sama ngasih hadiah, oke?” Faris mengangkat jari kelingkingnya di depan wajahku.
“Oke, kakak janji!” Aku menyambut kelingking Faris dan tersenyum. Dia Faris, adikku. Aku sayang dia.
*****
Dua minggu berlalu sudah. Aku telah melupakan Rian, kini aku kuat kembali. Aku sangat bersemangat hari ini, entah atmosfer apa yang menyelimutiku. Hari ini aku yakin kabar baik akan datang untuk aku dan Faris.
Handphoneku berdering tanda pesan masuk.
Kak, satu jam lagi Faris main. Doakan Faris kak. Cepat beli hadiah ya, karena piala itu pasti faris bawa pulang hehehe.
Aku tersenyum membacanya. Segera kubalas pesan adikku.
Pasti! Hadiah terbaik untuk kamu pokoknya, semangat!
Kusimpan handphoneku kemudian kunyalakan laptop. Aku tidak takut lagi untuk melihat pengumuman, karena kini aku telah menjadi Nadhya yang kuat. Aku percaya akan takdir terbaik untukku. Sekarang aku tidak akan mengeluh lagi.
Kubuka website dan perlahan memasukkan nomor pendaftaranku. Aku pasrah. Bismilah.
.
.
.
Selamat! Anda dinyatakan lolos seleksi! Untuk info daftar ulang, klik link di bawah ini.
.
.
.
Aku bahagia. Aku berlari menghampiri ayah dan bunda, kucium tangan mereka dan kulanjutkan dengan sujud syukur. Ayah dan bunda senang, mereka memelukku. Aku tak sabar menunggu kabar dari adikku.
*****
Malam harinya aku dibangunkan oleh ayahku. Aku tertidur di sofa ruang tamu karena menunggu Faris pulang. Kulihat handphoneku ada satu pesan baru yang masuk tadi sore.
Kak, selamat ya! Akhirnya kakak sebentar lagi resmi jadi mahasiswi. Aku udah siapin hadiah buat kakak, buka laci meja belajarku ya! Aku sekarang ada di perjalanan pulang, teman-temanku kelelahan, kami butuh banyak istirahat. Tenang saja kak, piala ada di tanganku sekarang!
Aku sangat senang membacanya, rasa kantukku hilang seketika.
“Nadhya.” Ayah menyebut namaku lembut.
“Iya ayah, sebentar aku balas pesan dari Faris dulu.” Aku masih sibuk dengan handphoneku.
“Nadhya.” Ayah memanggilku sekali lagi. Aku menoleh. Terlihat kesedihan di wajah ayahku. Ada yang tidak beres.
“Kita harus pergi sekarang.” Ucap bunda.
“Ke mana bun? Ini udah malam, nanti kalau Faris pulang siapa yang buka pintu?” aku bingung. Ayah dan bunda saling tatap satu sama lain.
“Nadhya.” Ayah menghela napas, kemudian melanjutkan.
“Bus yang mengantar adikmu mengalami kecelakaan di perjalanan. Bus itu masuk ke jurang. Adikmu, Faris menjadi salah satu korban yang tidak bisa diselamatkan, nak.” Ayah menatapku dalam. Aku belum mengerti, otakku belum mencerna maksud ayahku sepenuhnya.
“Adikmu sudah tiada, Nadhya sayang.” Bunda memelukku sembari menitikkan air mata. Tubuhku kaku. Kepalaku berat. Mataku panas. Aku tak bisa berkata apa-apa. Seketika semua gelap.
*****
Angin berhembus perlahan, meniup pakaian hitam yang kukenakan. Perlahan kubuka pintu kamar Faris. Sunyi. Kulangkahkan kaki ke meja belajarnya. Terdapat banyak piala di sana. Kubuka laci meja. Ada sebuah kotak dan juga surat. Aku duduk di tepi tempat tidur. Kubuka surat itu.
Selamat Kak Nadhya!
Aku tau kakak bisa. Aku tau kakak kuat. Aku sayang kakak!
Kak maaf selama ini merepotkan kakak. Aku gak tau kenapa tiba-tiba nulis surat ini, yang jelas aku udah mulai nulis jadi harus aku selesaikan sampai akhir, hehe.
Aku ingin jadi seperti kak Nadhya. Perempuan cerdas, baik, hebat. Cerdas? Jelas. Kakak selalu meraih juara kelas selama ini, dan lagi kakak meraih peringkat pertama nilai UN di sekolah, kakak lulusan terbaik, aku bangga. Baik? Sudah pasti. Siapa yang selalu sabar mendengar curhatanku yang membosankan? Siapa yang selalu setia menemani dan mengajariku belajar? Siapa yang memelukku ketika bunda memarahiku? Siapa yang selalu berbagi apapun denganku tanpa meminta balasan? Semua itu hanya kakak yang melakukannya. Hebat? Sangat hebat! Kakak selama ini telah berperan banyak untukku. Peran sebagai kakak, bunda, guru, teman, dan juga sahabat. Aku sayang kakak!
Kak, aku tau waktu itu kakak menangis bukan karena universitas, tapi karena kakak ada masalah dengan Kak Rian kan? Aku tau itu. Apapun masalah kalian, kakak jangan benci sama kak Rian, maafin kak Rian. Kak Rian itu orang baik, aku yakin. Kakak juga orang baik, jadi jangan bersedih lagi ya!
Oh iya kak, aku udah siapin hadiah untuk kakak, semoga kakak suka. Hadiahnya gak mahal sih, soalnya uang jajanku kan gak terlalu banyak hehe. Terima ya kak. Semangat kuliahnya! Walaupun kita nanti jauh tapi hati kita selalu dekat kok kak, aduh aku kok jadi sok romantis ya hehe. Yaudah, sekali lagi selamat. Aku sayang kakak!
Air mataku tak henti mengalir. Kuletakkan surat itu kemudian kubuka kotak hadiah dari Faris. Sebuah album foto yang berisi kenangan kami dari kecil. Aku suka. Sangat suka. Terima kasih Faris, adikku. Kakak sayang kamu.


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Keras Hati

Hai! Apa kabar hari ini? Sudahkah berdamai dengan diri sendiri? Perihal apapun itu, kamu harus berdamai dengan dirimu.  Hatiku terlalu ke...